Buku “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur” adalah sumbangan yang baik untuk pengembangan khazanah sastra Indonesia dalam bidang teologi dan filsafat, terlepas dari segala kontroversinya.
Ketika mengunjungi satu di antara toko buku di Yogyakarta, sebuah buku dengan sampul yang biasa-biasa saja, background warna hitam tanpa gambar, hanya judul dengan font besar berwarna kuning, menarik perhatian saya. Bukan karena sampulnya, tetapi karena judulnya yang terkesan kontroversial, yakni Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur.
Belum lagi penambahan kalimat kecil di bawahnya yang berbunyi Memoar Luka Seorang Muslimah. Rupanya sang penulis, Muhidin M. Dahlan benar-benar mampu membuat perpaduan yang sempurna untuk menciptakan kesan pertama yang memikat lewat judul yang dekonstruktif, karena lazimnya manusia meminta ke Tuhannya untuk menjadi manusia yang saleh. sekaligus kalimat penjelas yang kontradiktif, pelacur dan muslimah adalah dua hal yang bertolak belakang. Memang menarik, memanfaatkan hal yang bertolak belakang menjadi sebuah gagasan yang mengundang rasa penasaran.
Sesampai di rumah, rasa penasaran membuat saya tak sabaran untuk menggumuli buku memoar gaya fiksi tersebut. Tak membutuhkan waktu berhari-hari untuk merampungkan buku tersebut, sebab penggunaan kalimat yang mudah dipahami (sejauh ini, hanya buku-buku terjemahan yang membuat saya tak bisa menyelesaikannya dalam sekali duduk) serta kandungan cerita yang menarik. Satu hal penting yang membuat cerita dalam buku ini menarik adalah materi dasar yang sepenuhnya dilandasi dari kisah nyata dan in-depth interview selama beberapa pekan (pernyataan Muhidin M. Dahlan di halaman 260). Setiap hal yang berdasarkan kisah nyata selalu menarik untuk diikuti, sebab senantiasa dekat dengan kehidupan sehari-hari. Apalagi kalau kisah itu menyangkut hal-hal yang terkesan tabu, sebab pada dasarnya manusia lebih menyukai hal-hal yang tidak sesuai dengan norma-norma pada umumnya.
Mendekonstruksi ‘Pengetahuan Umum’
Kesan pertama setelah menikmati buku ini adalah dugaan bahwa Muhidin M. Dahlan lumayan ngefans dengan seorang filsuf yang menawarkan metode penolakan terhadap kebenaran tunggal, yakni Jacques Derrida. Artinya, hal yang dianggap benar oleh pengetahuan umum tidak bersifat mutlak. Dugaan ini dilandasi atas gaya bercerita Muhidin M. Dahlan yang doyan mendekonstruksi pengetahuan umum. Sama halnya dengan metode dekonstruksi yang diajukan oleh Jacques Derrida, bahwa hal-hal yang dianggap terlarang untuk disampaikan sudah saatnya mulai ditampakkan ke permukaan. Muhidin M. Dahlan mengungkapkan ‘hal terlarang’ tersebut lewat dialog antara Kiran dan Midas tentang kecemburuan Tuhan berikut ini.
“Kutegaskan kepadamu Das bahwa manusia itu punya kekuatan untuk itu. Ia sudah dibekali pengetahuan tentang nama-nama. Aku tidak sepakat dengan kejatuhan Adam yang disebut-sebut sebagai kejatuhan diakibatkan oleh perselingkuhannya dengan Hawa. Menurutku, kejatuhannya dikarenakan kecemburuan Tuhan (halaman 150).
Ada ‘ hal terlarang’ yang tersampaikan lewat ungkapan Kiran tersebut, yakni Tuhan yang sedang cemburu terhadap Adam. Bukankah pengetahuan umum telah menyebutkan bahwa kejatuhan Adam disebabkan oleh tragedi buah khuldi? Nyatanya ada tafsir lain yang diungkapkan oleh Muhidin M. Dahlan bahwa Tuhan sedang takut tersaingi kala itu. Merenungi dialog ini, agaknya yang paling aman adalah memaknai karya ini sebagai karya fiksi yang bercerita tentang sulitnya mempertahankan keimanan ketika manusia telah dirundung badai kekecewaan.
Sebuah Pernyataan yang Mengganjal
Tak hanya cerita tentang dekonstruksi pengetahuan umum, di dalam buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur saya juga menemui sebuah pernyataan yang mengganjal hati saya. Penyataan itu terdapat pada narasi Muhidin M. Dahlan tentang asal-usul kewajiban salat lima waktu. Berbeda dengan cerita tentang kecemburan Tuhan yang lebih menekankan pada sudut pandang, asal-usul kewajiban shalat lima waktu lebih berhubungan dengan sejarah yang jejak sumbernya dapat dilacak. Muhidin M. Dahlan mengungkapkan bahwa pada awalnya manusia diwajibkan menjalankan salat sebanyak 50 rakaat dalam sehari, lalu kewajiban itu dikurangi atas permintaan Muhammad sehingga menjadi 5 rakaat saja (halaman 152).
Ada hal yang perlu digarisbawahi dari ungkapan Muhidin M. Dahlan tersebut, yakni adakah salat yang berjumlah 5 rakaat? Bukankah rakaat salat terbanyak adalah empat? Sementara jika merujuk pada Tafsir Jalalain karya Syaikh Jalaluddin al-Mahalli dan Syaikh Jalaluddin as-Suyuthi, maka akan ditemui keterangan bahwa asal-usul kewajiban salat lima waktu bermula dari 50 waktu hingga berakhir di 5 waktu (bukan 5 rakaat).
Entahlah ini memang sebuah strategi karya fiksi, (atau) kesalahan ketik dari penerbit, (atau) Muhidin M. Dahlan telah memiliki penafsiran lain atas hal ini, atau bahkan memang kesengajaan Muhidin M. Dahlan yang sedang merencanakan prank pada pembacanya.
Akhir kata, buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur adalah sumbangan yang baik untuk pengembangan khazanah sastra Indonesia dalam bidang teologi dan filsafat ⸻terlepas dari segala kontroversinya.
IDENTITAS BUKU
Judul : Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur
Penulis : Muhidin M. Dahlan
Penerbit : Scripta Manent
Cetakan :XX, Juni 2020
Tebal : 261 halaman
ISBN : 979-99461-1-5